Rabu, 07 Juli 2010

Fachri

Muhammad Fachrizal Zaki, lahir 12 februari 2006, di yogyakarta, di RS tempat kakaknya lahir, juga ditangani oleh dokter yang sama.
Sebuah kebahagiaan yang tidak terkira, Tuhan menganugerahi kami putra ke-2, rasa syukur tidak lepas atas anugerah ini..
Masa kehamilan Fachri agak di luar rencana kami, tapi saya yakin Tuhan punya rencana lain. Ditengah kesibukan kami mengurus Fadli yang masih kecil ( 9 bulan ), berita kehamilan anak ke-2 sempat membuat keluarga besar "panic", semata-mata karena Fadli masih kecil. Seolah-olah terasa begitu cepat dan apakah mampu menangani kondisi 2 anak sekaligus yang masih kecil-kecil nantinya..., sekali lagi manusia hamba yang lemah, banyak menuntut, tidak yakin akan kekuatan dibalik semua peristiwa..
Wacana untuk "tidak meneruskan" kehamilan sempat ter-ngiang (astagfirullah...), namun rencana tinggal rencana, Tuhan masih menunjukkan jalan, sebelum diputuskan lanjut ato tidak, Tuhan memberi hidayah pada kami lewat eyang kungnya Fadli, : " konsul dulu ke dokter, baru diputuskan apakah bisa dilanjutkan ato tidak..."
Di tengah perjalanan menujug ke dokter, perasaan saya, istri carut marut, beruntung kita berhenti sejenak di sebuah toko foto copy, dalam pembicaraan yang singkat ini, kami sepakat untuk terus melanjutkan kehamilan, walaupun nanti dokter memutuskan untuk tidak melanjutkan. Sepanjang jalan menuju dokter kami terisak menangis tidak tega rasanya kalo harus menolak kehamilan ini, kami pernah kehilangan, mengapa sekarang ketika diberi di tolak..?
Kami masih teringat betul ketika kehamilan pertama kami, sebelum kehamilan Fadli, kami diuji dengan gugurnya kehamilan, persis di bulan ramadhan. Dari peristiwa itu kami tahu betul bagaimana rasanya kehilangan, bagaimana rasanya ketika harus merelakan calon jabang bayi yang dinanti-nantikan tidak dapat hadir di dunia ini.
Maka ketika kehamilan Fachri ini, tidak ada alasan untuk "tidak melanjutkan" kehamilan. Kehamilan harus diteruskan, mungin ini juga ujian Tuhan.
Ternyata benar, dokter menyarankan kami untuk melanjutkan kehamilan.Tidak ada alasan tidak melanjutkan kehamilan. Mengapa ketika benar-benar diberi anugerah oleh Tuhan kita harus menolak, lagi-lagi ujian ini sempat kami lalui.. Subhanallah Engkau Maha Agung, Maafkan dosa kami atas praduganya yang salah terhadap-Mu, Engkau selamatkan kami dari godaan-godaan yang menyesatkan..
Fachri lahir normal dengan berat 3000 gr, dengan kulit yang agak merah kusam, kami sangka anak kami akan hitam, tapi subhannallah setelah agak besar dia putih bersih..
Sewaktu umur 7 bulan, dia sakit sariawan, sekitar mulut banyak jamur yang mengakibatkan dia tidak mau menetek ibunya, setelah diberi obat dan sembuh, Fachri tidak mau lagi menetek ibunya, padahal masih kecil, jauh dari pengharapan kami untuk bisa menyusui genap 2 tahun. Seolah-olah mencoba "menaruh respect" terhadap kakaknya Fadli yang juga tidak bisa menyusui karena kehamilan dia, kasihan asupan asi yang seharusnya menjadi makanan terbaik tidak bisa dinikmatinya.
Fachri berbeda dengan Fadli kakaknya, sewaktu kecil tidak ada tanda-tanda kalo dia autis, dari lahir, tengkurap, merangkak, berjalan relatif normal. Hanya saja sewaktu baru bisa berjalan dia cenderung maunya langsung berlari. Fachri cenderung lebih Hyperaktif dibanding Fadli, badannya yang gak mau diam dan selalu ingin bergerak membuat kami sangat kewalahan. Yang lebih mengherankan setiap jatuh ataupun luka jarang sekali dia merasa kesakitan, tidak ada ekpresi kesakitan sama sekali, tidak seperti anak-anak sebayanya yang baru jatuh sebentar langsung nangis, Fachri tidak.., seolah-olah dia tidak merasa sakit sama sekali., mengerang pun tidak,.
Saya pikir wah hebat sekali anak saya, jagoan tidak cengeng.....,
Tapi... itulah masalahnya ketika berbeda dengan anak-anak lain, ternyata memang ada masalah..
Fachri cenderung lebih respon dengan teman-teman sebayanya, masih enjoy dan bisa bermain bersama, walau di tengah-tengah permainan dia cenderung tidak focus apalagi melihat benda-benda kesukaannya, dia sangat tertarik dengan barang kemasan yang warna dan gambarnya menarik, (spt:barang-barang consumer goods).
Karena berbeda dengan Fadli, tidak terpikirkan oleh kami untuk memberinya penanganan, selain karena kami juga fokus terhadap fadli, saya pikir biasa anak laki-laki emang agak aktif, pikir saya. Sebenarnya kami juga masih heran di usianya yang sudah 3 tahun belum juga berbicara, untuk komunikasi sama seperti kakaknya, lebih suka menarik tangan kami untuk minta sesuatu, kemampuan verbal tidak ada sama sekali. Sampai usia 3 tahun, barulah Fachri mendapatkan penanganan bersama Fadli di pijat refleksi plus suplemen obat dan herbal, di Cikarang.
Sampai akhirnya kami bertemu bu Zahra untuk memulai proses penanganan untuk anak berkebutuhan khusus,..
Fachri juga didiagnosa Autis....

Selasa, 06 Juli 2010

Bapak kemana saja...???

Sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan yang "menyentil" kuping saya ketika pertama kali bertemu dengan konsultan ini.
Setelah janji temu, saya dan istri meluncur ke Cikarang-Bekasi, tidak lupa kita bawa anak-anak. Bu Zahra, saya biasa sebut, langsung bisa menebak kalo anak saya mengalami 'gangguan' setelah sama-sama kita discuss masalah kami. Komentar itulah yang membuat saya kaget, tersentak...!
Rupanya dengan umur Fadli yang sudah memasuki tahun ke-5 dianggap agak telat untuk ditangani, semestinya sejak umur >3 tahun sudah harus mulai ditangani, makanya bu Zahra melontarkan pertanyaan ini. Padahal seperti yang sudah saya tulis, kami tidak diam untuk menangani kondisi Fadli dengan terapi pijat dsb. Beliau tidak menyalahkan kami dengan kondisi terapi yang sudah dijalani, tapi semata-mata "kurang tepat". Fadli harus belajar, harus 'Learning', dan dipaksa mengerti tentang perilaku, untuk membawa keluar dari ke-sendirian-/auto dia. Bahwa dunia ini tidak sendiri, ada orang lain di sekitar dia, ada keluarga, teman, guru, dsb. Sehingga atensi dia terhadap lingkungan bisa di respon dengan komunikasi yang baik.
Dengan serta membawa Fachri adiknya, yang juga didiagnosa sama, konsultasi ini juga memaksa saya untuk ikut serta membawa program terapi untuk anak saya yang kedua. Kondisi Fachri yang tidak jauh berbeda dengan kakaknya menuntut untuk segera ditangani.
jadilah anak-anak kami untuk pertama kalinya diterapi dengan metode yang berbeda dan saya pikir jauh lebih logis dibandingkan dengan terapi tradisonal sebelumnya.
Di sebuah lembaga pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, di Cikarang-Bekasi inilah sebetulnya awal dari sebuah perjalanan panjang kami selanjutnya. Seperti sebuah perputaran waktu, kami mengalami dari nol lagi, that's the starting point..

Hikmah Dari Sebuah Keputusan

Kebingunan, kekurangan informasi, kesibukan yang menyita waktu, membuat perhatian kepada anak-anak tidak maksimal. Kondisi Fadli yang belum juga bisa bicara memaksaku terus berpikir untuk mencari solusi. Pencarian informasi gencar dilakukan, internet adalah media yang paling sering jadi sasaran. Tapi sekali lagi saya masih menolak kalo anak saya 'bermasalah', apa yang harus saya lakukan??
Hampir setiap hari sepulang kerja masalah dan beban-beban masih terus menempel di 'pikiran', sehingga konsentrasi dan komunikasi keluarga sering terganggu, istri yang merasa saya cuek dengan kondisi Fadli, terus menuntut untuk segera ambil tindakan lebih untuk menangani Fadli.
Sekali lagi saya masih bingung, disatu sisi kemana lagi saya harus bertanya, belum lagi biaya yang pastinya juga tidak sedikit. Masalah biaya oke lah mungkin kita bisa cari solusi, tapi waktu..?? siapa yang bisa menggantikan waktu..?
Waktu terasa semakin mahal sekali harganya buat saya, manakala ketika saya mencoba memberanikan diri kerja ganda. Keputusan untuk kerja ganda sebetulnya bukan semata-mata untuk menambah income, tapi karena tempat saya bekerja sudah tidak lagi memberikan "ruang berkembang" buat saya, pengalaman saya hanya diulang tahun demi tahun, walaupun kerja sudah 8 tahun, seperti mengulang pengalaman 2 tahun selama 4 kali.
Inilah jalan itu di mulai, karena keputusan untuk kerja ganda ternyata membawa hikmah sangat berarti buat saya, di tempat kerja ke-2 ini jaringan pertemanan semakin luas, koneksi info semakin terbuka lebar diabanding di tempat kerja ke-1. Saya menganggap tempat kerja ke-1 seperti katak dalam tempurung, saya cuma jago kandang, rutinitas yang itu-itu saja, sehingga saya sudah merasa sangat membosankan, mungkin lain soal kalo 'ruang ekpresi'-nya terbuka lebar,...
Adalah Arie Siswoyo, teman se-team di tempat ke-2 ini, seorang Kristiani taat, pegawai bank yang juga kerja ganda, memberi saran untuk segera membawa saya ke konsultan pendidikan yang menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Waktu itu suatu malam dia ada urusan ketemu calon client di Karawang, entah mengapa saya memaksa dia untuk datang ke rumah mampir.
Saat di rumah itulah dia melihat anak-anak saya, saat itu juga dia memberi no telp si konsultan. Malam itu juga saya berkonsultasi via telepon, sampai akhirnya kita janjian untuk ketemu di tempat dia.

Fadli

Muhammad Fadli Rizal, anak pertama kami, lahir di Yogyakarta, 29 sept 2004. Kami memanggilnya Fadli, Lahir normal dari seorang rahim ibu, istri tercinta saya Noviana Sari Widiastuti, dengan berat 2500 gr. Menurut dokter anak kami sehat-sehat saja, beratnya pun tergolong normal, itu batas minimal berat bayi yang baru lahir. Karena dengan berat dibawah 2500 gr, perlu perawatan lanjutan beberapa hari.

Mengapa hanya 2500 gr? Setahu saya anak normal yang baru lahir beratnya biasanya lebih dari itu, tapi fadli tidak, waktu lahir umur kandungan tepat memasuki 9 bulan, belum genap 9 bulan 10 hari, ke-umuman usia kandungan. Maka dari itu beratnya masih sedikit dibatas ambang normal, mungkin kurang 10 hari itu yang menyebabkan cuma punya berat minim, Ini hanya asumsi saya mengapa beratnya cuma segitu, 10 hari cukup lumayan bagi jabang bayi nambah berat badan. Apalagi istri saya juga tidak terlalu sulit untuk makan ketika hamil. Fadli lahir tepat setelah mamahnya baru saja ikut senam hamil beberapa jam sebelumnya, karena istri saya pikir cukuplah dua minggu untuk melakukan persiapan kehamilan, maklum kelahiran pertama bisa sangat menegangkan buat istri.

Perkembangan dari bulan ke bulan normal-normal saja, dari tengkurap, merangkak, berdiri dan berjalan. Yang sedikit berbeda, dari merangkak ke berdiri dan berjalan relative jaraknya singkat ketimbang fase dari tengkurap. Tapi saya anggap normal-normal saja.
Di usianya yang belum genap 9 bulan, ternyata istri saya hamil lagi. Program KB kalender kami tidak berjalan mulus, hamil anak ke-2 di luar perkiraan kami, apa pun hasilnya kami sangat bersyukur, mengingat sebelum Fadli lahir, sebetulnya istri pernah hamil tapi belum genap 3 bulan harus keguguran. Kehamilan yang diluar rencana ini pun sangat mengagetkan, dan sempat ada wacana keluarga untuk tidak melanjutkan kehamilan, mengingat Fadli masih kecil. Sekali lagi Tuhan masih memberi petunjuk, dengan segala resiko kehamilan diteruskan.

Asupan asi terpaksa dihentikan demi kesehatan ibu dan adiknya. Saya masih ingat betul, terpaksa Fadli di sapih untuk tidak lagi menyusui ibunya dengan metode air putih yang sudah di do'akan oleh seorang Kyai di Haurgeulis – Indramayu, pak Haji Ismail,namanya. Alhamdulillah semua berjalan lancar, Fadli bisa melupakan untuk tidak menyusui lagi diusianya yang baru 9 bulan.
Kasihan sebetulnya, karena belum genap 2 tahun dia menikmati susu ibunya. Padahal susu ibu adalah makanan terbaik buat dia, namun ini pun terpaksa harus dilakukan.

Masa-masa itulah perjalanan berat sudah kami mulai, dengan kondisi Fadli yang baru berumur 9 bulan, istri saya sudah harus berjuang mempertahankan kehamilan anak kedua kami. Bisa dibayangkan dengan Fadli yang masih kecil, perut gendut mamahnya dan aktifitas rumah, sedikit banyak menguras tenaga dan pikiran istri. Terpaksa Fadli dan mamahnya kami ungsikan ke rumah ortu saya di kampung. Alhamdulillah dengan dukungan keluarga ‘beban’ aktifitas fisik istri merawat fadli bisa diatasi, keluarga jadi babysitter terbaik kami saat itu.

Memasuki usia 18 bulan, Fadli hijrah lagi ke Yogya ke rumah eyangnya, dan anak kedua kamipun lahir, ternyata laki-laki lagi. Bahagia tidak terkira kami rasakan, mendapatkan anak ke dua, teman bermain Fadli, Fachri namanya.

Waktu itu Fadli sudah pandai menirukan suku kata terkahir, “Plastik, (Fadli sudah mampu bilang : “tik..), "Udah..: 'dah, dan beberapa kosakata lain. Terlihat normal dan tidak ada masalah, ketika tiba-tiba suatu hari Fadli sakit, sering muntah dan badan panas. Perawatan pun dia jalani sampai 2 malam di RS tempat dia lahir. Di rumah sakit Fadli terus menerus menangis, kebetulan waktu diinfus mengalami kesulitan, di tangan kiri maupun tangan kanan, sampai akhirnya selang infus harus masuk lewat kakinya, itu pun setelah di bantu oleh 5 orang untuk memegangi tubuh fadli yang terus memberontak ketakutan. Kondisi selang infus inilah yang menyebabkan Fadli tidak nyaman dan tidak bisa bergerak leluasa. Menangis dan menangis jadi ekspresi dia selama di Rumah sakit.

Hari-hari berjalan, sampai akhirnya fadli hijrah di rumah dia sebenarnya di Karawang, tempat saya mencari rezeki. Di masa sibuk mamahnya mengurus si kecil anak kedua kami, Fadli mulai keseringan nonton TV, tidak ada teman yg diajak bermain, ada juga tidak sebaya, hobinya menyendiri dan menonton TV. Hobi memencet tombol TV sempat merusak hampir semua tombol yang ada di TV. Waktu itu kami sangat kewalahan mengurus 2 anak yang masih kecil, apalagi kalo pas saya kerja. Fadli cenderung bermain sendiri, dan kami pun agak protektif dengan lingkungan yang baru di perumahan.

Umur 18 bulan keatas, kemampuan verbal dia semakin hari menghilang, tidak ada satu patah kata pun dia ucapkan. Untuk meminta sesuatu dia hanya menarik-narik tangan ayah dan mamahnya. Kadang-kadang sering menyendiri. Mainan pun belum ada yang spesifik dia gandrungi. Kadang-kadang 'babbling' sesekali, ngoceh dengan maksud yang tidak kami mengerti, tapi saya berpikir itu masih wajar mungkin hanya terlambat bicara saja. Menjelang tahun ke-3, salah seorang keluarga kami sempat berujar, mungkin autis.…

Autis..??? Saya masih g yakin (kebetulan saya sempat mendengar istilah ini sebelumnya), tapi saya masih tidak percaya, apalagi saya juga sempat browsing di internet dan coba-coba mencari tahu, tapi dugaan saya masih tidak mengarah ke autis, di tambah lagi suatu hari saya sempat melihat Film berjudul “Mercury Rising” film action , dibintangi aktor Bruce Willis, mengkisahkan anak autis yang berhasil menjawab teka-teki Puzzle berisikan kode rahasia negara.
Saya selalu membanding-bandingkan dengan Fadli dan si anak di film itu, lagi-lagi kesimpulan saya, anak saya tidak autis, anak saya berbeda dengan yang di film. Kontak mata masih ada walau sedikit, di panggil juga masih “mendengar” walau harus melawan suara TV. Saya masih penasaran…

Karena penasaran, sewaktu liburan di Yogya, Fadli yang kala itu berumur 2 tahun, kami bawa ke klinik tumbuh kembang anak di sebuah RS. negeri di yogyakarta, hasil kesimpulan: Anak masih dalam batas normal, bahkan tes BERRA juga normal, walaupun ada sedikit perbedaan respon di telinga kiri Fadli.

Berbekal ini saya jadi semakin yakin anak saya tidak autis, cuma terlambat bicara saja....

Di masa-masa umur fadli 3 tahun lebih, mulailah kekhawatiran merebak,… Fadli belum juga bisa bicara, apalagi cenderung sangat aktif, kalo makan di-‘emut., gak mau mengunyah, acara makan jadi problem buat kami dan Fadli. Nafsu makan seperti tidak ada, karena hobby ngemut itulah yang membuat acara makan bisa lebih dari 1 jam.
Saya dan istri sudah mulai sering beda pendapat tentang Fadli, karena saya masih berpendapat ini hanya telat saja nanti juga bisa ngomong sendiri, tapi istri berpendapat lain, so.. konflik pun jadi menu yang tidak bisa dihindarkan antara kami berdua.
Saya masih berpendirian anak saya tidak ada masalah, nanti juga pada waktunya akan bisa…, begitu terus dan begitu terus pendapat saya..

Pada akhirnya mulailah rencana ‘penanganan’ kondisi Fadli dimulai.
Terapi pertama kali adalah pijat refleksi, oleh kenalan salah satu tetangga kami di perumahan yang kebetulan berhasil mengurangi dampak cacat fisik akibat stroke, dan anaknya yang mengalami gangguan pendengaran. Seminggu sekali kami antar Fadli pijat, sebulan, dua bulan, tiga bulan belum ada perubahan kemampuan verbalnya. Hal yang berubah adalah Fadli jadi doyan makan, sedikit lebih tidak agresif/aktif, akhirnya pijat refleksi pun dihentikan.

Kami pun melakukan ‘penanganan’ lagi, lewat info tetangga kami dikenalkan oleh terapist pijat, Fadli dipijat lagi, dengan cara sedikit di beri aliran chi oleh tenaga dalam si terapist. Si terapist keturunan china ini memang punya kemampuan semacam itu, dia mencoba membantu memperbaiki system syaraf Fadli lewat aliran chi yang dia miliki. Lagi-lagi ini pun tidak memberikan hasil yang signifikan untuk kemampuan verbalnya. Hal yang berubah waktu itu adalah sikap Fadli yang sudah tenang dan cenderung tidak lagi hiperaktif, terapi pijat plus pun dihentikan.

Setelah ditangani oleh master Chi ini, kami mencoba ke RS. Swasta di Karawang, karena disana ada klinik yang melayani terapi wicara. Kami konsul dan mulailah terapi, tapi ini pun tidak berjalan lama, setiap terapi Fadli lebih suka nangis dibanding belajarnya, waktu terapi jadi sangat tidak efektif dan hasilnya pun tidak maksimal sama sekali.

Dari mulut ke mulut kami pun shoping terapi lagi, lagi-lagi lewat info seorang teman, Fadli di terapi di sebuah klinik pengobatan dengan pijat refleksi dan kombinasi suplemen obat dan obat herbal. Tapi itu pun hanya berjalan 6 bulan, di bulan ke-7 terapi dihentikan, karena kemampuan verbal Fadli tidak berubah.. selain juga karena kekhawatiran saya apabila mengkonsumi obat-obatan dalam jangka panjang takut merusak ginjalnya.

Fadli-Fachri

Fadli-Fachri, anak-anakku ternyata Autis…,
Itulah kenyataan yang harus saya terima ketika mereka didiagnosa menyandang autis. Bercampur aduk perasaanku menerima kenyataan ini. Ya Allah apa mau-Mu dengan ini semua…, saya hampir tidak percaya kejadian ini menimpa kami..,

Begitulah manusia, saya juga manusia, yang namanya manusia selalu menuntut kesempurnaan, tidak bisa menerima hal-hal yang kurang, ingin normal, ingin seperti orang lain, ingin lebih, ingin, ingin dan ingin kami tidak mau menerima kenyataan hidup ini. Kok bisa, kenapa terjadi, kenapa harus anak saya, apa salah saya, apa salah keluarga kami.., Sederet pertanyaan seolah menghukum dan mencari kesalahan. Tapi kenyatan hidup tidak bisa saya hindari. Hidup harus berlanjut, hidup adalah perjuangan, jangan menyerah (seperti syair lagu band D’masih),-syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah, tetap jalani hidup ini-,
Ya, saya harus berjuang, kami sekeluarga tidak boleh menyerah, hadapi ini sebagai sebuah anugerah, mungkin ini cara Tuhan menguji kami, agar kami menjadi manusia yang berarti, minimal buat keluarga kami.